Pendekatan Pembuktian Pelaku Santet Dan Urgensi Peradilan Tingkat Desa, Oleh Mustopa Mahasiswa S1 Hukum Universitas Pamulang

  • Home
  • HOT NEWS
  • Pendekatan Pembuktian Pelaku Santet Dan Urgensi Peradilan Tingkat Desa, Oleh Mustopa Mahasiswa S1 Hukum Universitas Pamulang
Pendekatan Pembuktian Pelaku Santet Dan Urgensi Peradilan Tingkat Desa, Oleh Mustopa Mahasiswa S1 Hukum Universitas Pamulang

Tangerang Selatan, (variabanten.com)-Santet adalah sebuah kejahatan yang berbau cultural yang sudah lagi tidak asing dikalangan masyarakat, terlebih orang daerah seperti Penulis yang berasal dari kampung, hal ini sangat sudah tidak tabu lagi, di tambah dengan culture daerah Penulis yang masih menganut dan memegang kepercayaan leluhur, santet atau yang sering kami bilang secara bahasa Sunda adalah teluh tentu saja menjadi keresahan masyarakat, mungkin orang-orang menganggap hal ini sangat aneh mungkin tidak sedikit orang juga menganggap hal ini konyol karena santet atau teluh ini sendiri sangat sulit di buktikan pelaku serta unsur dan pembuktiannya kurang kuat, namun walaupun kejahatan atau tindak pidana ini sulit dibuktikan eksistensi dan keberadaannya nyata.

Pembuktian santet yang sulit dibuktikan ini berdasarka pada RUU KUHP baru yang dimana merencanakan undang-undang santet,namun undang-undang ini hanya membahas seseorang yang mengaku mempunyai ilmu gaib, RUU KUHP ini berbunyi dalam pasal 292 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi Ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori IV”. Ayat berikutnya menyebutkan “jika pelaku tindak pidana tadi melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah sepertiga”.

Isi dari RUU KUHP di atas tidak menjelaskan bagaimana pelaku yang menyuruh dan melakukan bagaimana hukumannya, hanya apabila seseorang mengakui mereka yang menyatakan memberitahukan dan menawarkan saja sedangkan pelaku santet yang Penulis ketahui berdasarkan pengalaman dan pemahman Penulis mereka melakukan praktek santet secara diam-diam dan tidak ada dukun selaku eksekutor santet menawarkan apalagi mengakui, pembuktian pidana santet ini juga menjadi perdebatan. salah seorang anggota tim penyusun RUU KUHP yaitu Chairul Huda menyatakan perdebatan santet lebih banyak mengarah ke soal pembuktian padahal santet tidak perlu dibuktikan karena masih sukar diterima secara logis. Pernyataan di atas mendefinisikan susahnya pembuktian pidana santet karena masih sukar di terima.

Dengan adanya RU KUHP tentang santet dan belum adanya pernyataan yang belum pasti tentang pelaku santet maka disini Penulis akan sedikit memberikan oponi dalam pembuktian pendekatan pelaku santet, Penulis akan sedikit menceritakan contoh kasus yang terjadi di ruang lingkup keluarga Penulis sendiri sebut saja si korban bernama ibu X, ibu X selaku korban berusia 54 taun tiba-tiba sakit dengan keadaan fisik perutnya membuncit dan hilang ingatan seperti orang linglung padahal dia tidak mempunyai riwayat penyakit aneh dan hari hari sebelumnya sehat, ketika berobat kedokter,dokter hanya mendiagnosa penyakit kista saja padahal secara fisik dan keluhan ibu X mengalami kebuncitan pada perut dan hilang ingatan sedangkan dokter mendiagnosa kista yang dimana kista ada didalam rahim. Selang beberapa hari, upaya dokter yang tidak membuahkan hasil pihak keluarga berinisiatif membawa ibu X ke pengobatan yang berbau religius yaitu dengan berobat ke ahli spiritual atau pemuka agama dengan cara ruqiyah, ketika di ruqiyah ibu X mengalami kesakitan hingga hal aneh terjadi ketika ibu X mengalami muntah darah dan muntah paku.

Ketika ruqiyah selesai di lakukan ustad selaku mediator bertanya apakah ibu X mempunyai permasalahan dengan orang lain sontak keluarga pun teringat bahwa ibu X mempunyai masalah dengan seseorang dengan permasalahan sengketa tanah, ustadz tersebut pun memberitahu kepada pihak keluarga bahwa ibu X terkena santet dengan ciri seorang lelaki yang mempunyai bekas luka di wajah, dengan ciri-ciri yang dikatakan itu selaras dengan orang yang berkonflik dengan ibu X, Sedikit menjelaskan konflik sengketa tanah yang ibu X alami, jadi ada seseorang yang ingin meminjam tanah kepada ibu X namun ibu X menolak karena tanah tersebut akan dijadikan perkebunan jagung. Selang beberapa bulan dari ruqiyah yang telah dilakukan dalam ikhtiar untuk mencari kesembuhan,upaya demi upaya untuk penyembuhan penyakit ibu X sudah di lakukan namun upaya itu tidak berubah kesembuhan,hingga ibu X meninggal dunia di tahun 2014 di usia 54 tahun.

Dari pengalaman keluarga Penulis yang sudah diceritakan tersebut ada kesimpulan dan opini hukum yaitu salah satunya pendekatan pembuktian terhadap pelaku santet yaitu dengan menyelidiki dengan orang yang berkonflik dengan korban. Namun hal ini harus di validasi terlebih dahulu apakah orang tersebut terkena santet apakah ada penyakit janggal ataupun ada kematian yang tidak wajar. Namun walaupun identifikasi pendekatan pembuktian pelaku santet itu sudah ada alternatif nya yaitu dengan melihat siapa yang berkonflik dengan korban tapi hal ini masih susah di masukan ke dalam delik pembunuhan walaupun ada korban dan perbuatan.

Hal ini memicu harus adanya pencegahan sebelum adanya korban santet tersebut dengan adanya peradilan tingkat desa yang dimana urgensinya adalah pencegahan itu sendiri dengan adanya mediasi dan di selesaikan dengan adanya musyawarah antara pelaku yang diduga dengan korban. Dengan adanya mediasi itu sendiri yang dipimpin oleh ketua yang di tunjuk oleh pemerintah ataupun ketua adat di harapkan dapat meminimalisir konflik dan korban. Secara korban santet itu sendiri ketika sudah menjadi korban enggan dan sangat jarang untuk menunjuk langsung atau pun menduga walaupun sudah tau siapa yang melakukan santet kepada korban. Karena ketakutan korban ketika menuduh langsung kepada pelaku bisa menjadi ancaman.dengan adanya peradilan tingkat desa atau daerah diharapkan bisa menjadi wadah untuk melapor pihak korban dengan tidak langsung bicara langsung kepada terduga pelaku melainkan pihak peradilan bisa menjadi mediator untuk memediasi antara korban dan yang terduga pelaku. Urgensi adanya peradilan tingkat daerah atau desa ini juga manfaatnya bukan untuk menyelesaikan kasus santet ini saja melainkan dapat menyelesaikan tindak pidana ringan secara restoratif. VB-Putra Trisna.

Comments are closed